Tahun 2006 itu, para eksekutif Yahoo berkumpul di sebuah hotel di San Jose untuk melepas penat. Mereka rileks dan bergembira. Tidak ada satupun pertanda bahwa Yahoo akan terpuruk.
Yahoo baru saja membukukan pendapatan USD 5,3 miliar dan untung USD 1,9 miliar. Masa-masa berat dotcom bubble yang berhasil dilewati Yahoo di awal tahun 2000 sudah jadi kenangan lama. Yahoo berhasil bangkit menjadi perusahaan top dan menjalin deal iklan besar dengan merek-merek tenar dunia.
Namun kemudian ada pertanyaan menggelitik di pertemuan para eksekutif itu. Seperti diketahui, eBay identik dengan lelang, Google adalah pencarian online, Intel perusahaan mikroprosesor dan Microsoft terkenal dengan Windows.
Lalu, satu kata apa yang terlintas ketika nama Yahoo disebut? Jawaban dari para eksekutifnya ternyata beragam. Tidak ada konsensus.
"Beberapa orang mengatakan email. Beberapa lagi mengatakan news. Dan beberapa orang mengatakan search," kata Brad Garlinghouse, mantan Senior Vice President Yahoo yang detikINET kutip dari Reuters.
Itulah kemudian yang berujung pada krisis identitas di Yahoo. Sebenarnya, mereka ini perusahaan apa? Sebuah kebingungan yang mungkin membuat para pemimpin Yahoo beberapa kali melewatkan kesempatan besar saat perusahaan masih jaya.
Facebook dan Google gagal mereka beli saat dua anak macan itu belum tumbuh besar. Ada pula kesempatan mengakuisisi YouTube sampai Skype. Semuanya lewat begitu saja.
Kebingungan Yahoo dimanfaatkan Google yang sangat fokus dan kemudian jadi tujuan pertama ketika orang ingin menemukan sesuatu. Sedangkan Yahoo sukar memutuskan sebenarnya mereka mau menjadi apa, apakah perusahaan media atau perusahaan teknologi?
"Dari perspektif kami, kami adalah perusahaan media. Waktu itu, tidak ada kemungkinan besar bahwa kami akan mengalahkan Google dalam hal pencarian," sebut Dan Rosensweig, mantan Chief Operating Officer Yahoo.
Pada awalnya, fokus Yahoo sebagai perusahaan media memang sukses. Miliaran dolar mereka dapatkan dari beragam merek terkenal yang mau beriklan, dari Coca Cola sampai General Motors. Namun masa-masa nyaman itu tak berlangsung lama.
Terlena yang Berujung Keterpurukan
Seperti halnya perusahaan media cetak yang kemudian sekarat, yang menggantungkan pendapatan dengan menjual halaman iklan, demikian pula Yahoo. Mereka dinilai terlalu lama melakukannya dan tidak punya visi serta teknologi periklanan masa depan.
Yahoo memang pernah mencoba mengejar ketertinggalan. Mereka mengakuisisi Overture, perusahaan yang membuat teknologi pencarian iklan yang membuat Google kaya. Tapi Yahoo tak pernah sukses membuat kompetitor sepadan AdWords dan AdSense yang jadi andalan Google.
Yahoo makin bingung menentukan arah. Para manajer bertengkar tentang produk manakah dari sekian banyak produk Yahoo yang harus diprioritaskan. Tahun 2007, jelas Yahoo makin jauh tertinggal.
Google kian solid di pencarian. Pemain baru semacam Facebook dan Netflix juga menggerogoti Yahoo. Tak dapat dipercaya, perusahaan sebesar Yahoo ternyata akhirnya tak mampu bersaing.
CEO Yahoo pun berganti-ganti, datang dan pergi tanpa sekalipun bisa membangkitkan Yahoo. Pendiri Yahoo Jerry Yang sempat memegang posisi itu sebelum mundur lagi di tahun 2008. Kemudian ada tiga CEO sebelum Marissa Mayer ditunjuk. Situasi yang membuat karyawan bingung dan kesulitan berkomitmen untuk mencapai tujuan.
Ketika Marissa Mayer ditunjuk jadi CEO di tahun 2012, Yahoo sudah kehilangan banyak peluang, uang dan kepercayaan. Di sisi lain, kompetitornya justru makin meraksasa. Mayer memang tak bisa disalahkan sepenuhnya atas kejatuhan Yahoo. Toh, tanda-tanda kejatuhan Yahoo sudah tampak bertahun-tahun silam. (fyk/fyk)