Lokalisasi atau tempat prostitusi di Jakarta, satu persatu dilenyapkan. Setelah tempat prostitusi yang sangat prestisius sekaligus terbesar di Asia yang bernama Kramat Tunggak resmi ditutup oleh pemerintah Sutiyoso tahun 1999, Kalijodo kembali mendapat gilirannya di era Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Penulis tidak tahu, mengapa orang-orang atau kita yang merasa diri lebih suci dan lebih mulia dari para pelacur itu tidak suka dengan tempat yang dinamakan prostitusi dan kehadiran para pelacur itu di ibukota. Padahal, ibukota yang teridentifikasi atau bernafaskan materialisme, konsumerisme, dan hedonisme itu, salah satunya ditentukan oleh kehadiran apa yang dinamakan dengan dunia pelacuran.
Bukankah kehadiran tempat prostitusi juga merupakan salah satu sisi lain dari gemerlapnya ibukota? Bukankah prostitusi dan ibukota yang gemerlap itu ibarat andeng-andeng atau tahi lalat di wajah gadis yang cantik dan aduhai? Bukankah kehadiran tempat pelacuran juga merupakan salah satu cermin atau potret dari kehidupan manusia itu sendiri, bahwa di balik sisi baik itu ada sisi buruknya yang tak akan mungkin lepas dari diri kita?
Lalu, apakah kita sanggup melenyapkan dunia pelacuran sekaligus sisi-sisi lain alias sisi-sisi buruk kita sendiri? Jangan-jangan tindakan pelenyapan dunia pelacuran adalah bentuk lain dari cara berekspresi dari kesombongan diri kita, bahwa kita memang manusia sempurna, sementara yang lain jelek dan buruk. Dan kita lebih unggul daripada yang lain, karena itu kita pantas melenyapkan yang lain itu.
Penulis tidak bermaksud mendukung kehadiran dunia pelacuran di ibukota. Penulis juga tidak ada niatan untuk menganjurkan dibukanya kembali dunia pelacuran di ibukota. Penulis juga tidak begitu bersikeras dalam membasmi semua bentuk pelacuran itu. Tetapi, bahwa penutupan tempat-tempat pelacuran di ibukota adalah sebuah momentum untuk merenungkan kembali soal kehidupan manusia secara keseluruhan dan kehidupan di ibukota khususnya.
Tulisan ini tidak mengelaborasi perihal kehadiran dunia pelacuran di ibukota, tetapi kali ini lebih menyoroti persoalan seputar pelacuran Kramat Tunggak yang sudah dilenyapkan 18 tahun lalu, oleh sebuah kekuasaan yang mengatasnamakan kesucian hidup manusia metropolitan. Dan pembangunan Jakarta Islamic Centre di lokasi bekas pelacuran adalah simbolisasinya.
Sejarah
Sejarah Lokalisasi Kramat Tunggak, dalam uraian Wikipedia, dimulai dengan peresmian Lokasi Rehabilitasi Sosial (Lokres) Kramat Tunggak oleh Ali Sadikin. Nama Kramat Tunggak berasal dari nama tempatnya, Kramat Jaya, sementara Tunggak berarti pohon yang dipotong untuk dijadikan tambatan nelayan. Panti ini dibangun untuk menyadarkan dan membina para penjaja seks di Jakarta, yang kebanyakan digiring dari Pasar Senen, Kramat, dan Pejompongan.
Pertimbangan Ali Sadikin, yang jelasnya hanya Ali Sadikin yang tahu, tetapi dapat dikatakan peresmian lokalisasi itu tidak lebih untuk memanusiakan manusia (bukan menuhankan manusia). Yang tadinya dikejar-kejar oleh para aparat keamanan kota. Bahwa para pelacur juga manusia, sehingga mereka juga pantas ditempatkan pada satu tempat sesuai dengan fungsinya, bukan dikejar-kejar bagaikan hewan liar yang masuk pekarangan rumah.
Kalaupun ada tujuan lain, misalnya supaya ada penarikan pajak yang jelas dari tempat-tempat prostitusi, atau alasan lainnya, tentu penulis tidak tahu. Perlu ada penelitian. Kenyataannya, mucikari memanfaatkan berkumpulnya para pekerja seks untuk membujuk mereka kembali kepada profesi semula dan berdirilah berbagai rumah remang-remang di seberang panti. Pemerintah Ali Sadikin pasti mengetahuinya, sehingga meresmikannnya.
Tempat tersebut akhirnya terkenal menjadi tempat pelacuran dan gubernur pun menetapkannya sebagai lokalisasi resmi melalui SK Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 tanggal 27 April 1970, tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila serta Pembidangan dan Tanggung Jawab, yang ditandatangani oleh Ali Sadikin. Sehingga tempat ini menjadi lokalisasi, tempat prostitusi yang sebelumnya tersebar di beberapa tempat, seperti Bina Ria dan Volker, yaitu deretan rel kereta api di kawasan Ancol, Jakarta Utara.
Pada awal pembukaan, hanya terdapat 300 orang PSK dan 76 mucikari. Namun selanjutnya berkembang, hingga pada tahun 1980-1990 jumlah WTS telah mencapai lebih dari 2.000 orang di bawah kontrol sekira 258 mucikari. Tempat ini juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekira 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung-warung makanan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi juga terus berkembang hingga 12 hektare dan dikenal sebagai lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Pada tahun 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, akhirnya Lokalisasi Kramat Tunggak ditutup dan Jakarta Islamic Centre dibangun di atasnya.
Sepenggal Kisah Penutupan Kramat Tunggak
Menjelang akhir ditutupnya Lokres Kramat Tunggak pada 1999, jumlah wanita tuna susila di Kramat Tunggak mencapai 1.615 orang WTS di bawah asuhan 258 orang germo atau mucikari. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar. Hal ini menimbulkan masalah baru bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya dan sekaligus citra Jakarta. Sehingga muncul desakan dari ulama dan masyarakat agar Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak ditutup.
Desakan diteliti oleh Dinas Sosial bersama Universitas Indonesia untuk mengukur sejauh mana penolakan masyarakat. Dari penelitian tersebut, keluarlah rekomendasi agar Lokres tersebut ditutup. Akhirnya pada 1998 dikeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Pada 31 Desember 1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998. Selanjutnya Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan eks Lokres Kramat Tunggak.
Dari berbagai usulan bangunan pengganti berupa pusat perbelanjaan, perkantoran, dan lainnya, yang akhirnya dieksekusi adalah pembangunan Jakarta Islamic Centre. Maka, tempat prostitusi terbesar di Asia yang bernama Kramati Tunggak pun kini tinggal nostalgia.