Siapa yang tidak kenal sosok Habib Rizieq Shihab. Tokoh kontroversial yang sempat tampil sebagai pemimpin aksi berseri bela Islam dengan jutaan massa itu, kini terjerat berbagai kasus hukum. Banyak yang tidak menyukainya, membenci, bahkan mencemoh, namun tak sedikit juga yang membela, dijadikan panutan, dan mengagumi Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu.
Lalu seperti apa kategori masyarakat dalam menilai sosok Habib Rizieq? "Ada tiga kategori yang tahu tentang Rizieq, pertama orang yang fanatik mendukung, kedua orang yang kritis mendukung, ketiga orang yang tidak suka atau anti dia," kata pengamat politik Arbi Sanit kepada Netralnews.com, Minggu (11/6/2017).
"Sekarang yang bakal tinggal yang fanatik itu. Kalau yang kritis pasti sudah lihat (kasusnya), makanya tidak mendukung seperti semula. Jadi banyak yang sudah kabur," sambungnya.
Dari kategori fanatik, dijabarkan Arbi, terbagi dalam dua kelompok, yakni mereka yang 'dicuci otaknya' dan yang kedua, fanatik mendukung karena adanya ketergantungan, baik secara sosial ekonomi ataupun rohani.
"Ada dua kemungkinan, pertama orang yang dicuci otaknya, apapun keburukan dari Habib Rizieq, dia akan setia sampai mati, bahkan mau mengorbankan nyawanya," paparnya.
"Yang kedua adalah orang itu hidupnya tergantung, kehidupan sosial ekonominya tergantung, atau kehidupan rohaninya tergantung," ungkap Arbi.
Kelompok fanatik ini, disebutnya, menjadi manusia yang tidak bebas, karena seburuk apapun pemimpin mereka itu, mereka seakan-akan menutup mata, dan tetap mengaguminya.
"Jadi manusia yang tidak bebas. Sehingga apapun yang terjadi tetap dianggap sebagai pemimpin, sebagai panutan. Tetap diperlakukan seperti itu. Bukan manusia bebas," imbuh Arbi.
Fanatisme terhadap sosok Habib Rizieq ini, diungkapkan Arbi, tak ubahnya seperti pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang terkuak berbagai kasus penipuannya, namun pengikutnya tetap setia. "Itu kan dua kategori juga, ada yang memang percaya, ada yang tergantung dan berharap uangnya kembali," tutup Arbi.
Reporter : Adiel Manafe
Editor : Wulandari Saptono
