Engkau Tidak Sendiri di Dunia Ini, Nak

Untunglah di Youtube ada rekaman takbiran 24 jam. Saya jadi bisa memutarnya pada Minggu pagi itu, sebelum kami sekeluarga berangkat untuk salat Idul Fitri di South Perth Community Center. Saya berdoa demi kebahagiaan dan kemuliaan aktivis Youtube mana pun yang telah mengunggahnya, sebab manfaat karya dia buat kami begitu nyata.

Di negeri asing ini, saat-saat istimewa semacam Lebaran selalu terasa kurang "greng". Kami memang tetap berkumpul untuk salat Ied, untuk halal bi halal dengan teman-teman komunitas Indonesia, juga untuk makan-makan. Bahan opor ayam gampang ditemukan, ketupat beras Vietnam pakai bungkus plastik juga bukan soal, meski dari kemarin saya tak kunjung menjumpai kaleng biskuit isi rengginang.

Namun, tak ada takbir keliling, tak terdengar tetabuhan beduk, tak ada anak-anak yang diarak sambil membawa obor dan lampion lalu bersaing kencang waktu teriakan mereka tiba di kalimat "...walillaaahilhamd!"

Makanya, lantunan takbir di Youtube itu bisa memberikan secuil tambalan pada bolong di hati kami.

Hingga kemudian terdengar suara, "Itu tuh apa sih Pak, di Youtube kok dari tadi gitu teruuus?" Ya Allah, sedihnya. Ternyata anak saya Hayun sampai lupa apa itu takbiran. Hiks.

Tentu saja kami memberikan pelajaran dasar agama untuk dia, rutin mengajak dia bersembahyang, mengajarinya iqro', juga mengajaknya ikut pengajian-pengajian (meski toh di sana dia juga cuma main sama teman-temannya hehe). Tapi untuk takbiran yang setahun cuma dua kali, tidak perlu kami ajarkan setiap hari, bukan? Jadinya ya begitu itu.

Ini jelas beda dengan dua tahun silam, saat kami menjalani Ramadan dan Lebaran di kampung. Waktu itu, Hayun yang masih berumur lima tahun tak perlu sedikit-sedikit kami ajari, karena sudah ikut nyemplung bersama teman-temannya. Lha di sini?

Dengan kondisi seperti ini, saya jadi maklum kenapa banyak teman muslim yang memang sudah tinggal menetap di Australia menerapkan beberapa strategi. Misalnya dengan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah muslim yang mahal. Atau memulangkan anak ke Indonesia untuk dimasukkan ke pesantren selama beberapa tahun. Atau, seperti kakak sepupu saya yang tinggal di Canberra, yang berencana untuk memulangkan juniornya ke Bantul setiap kali Ramadan tiba.

Saya setuju, semua itu penting demi keseimbangan. Agar anak-anak tidak tidak lupa dengan "bahasa"-nya, tidak copot dari akarnya, tidak lepas dari pegangannya.

***

Keseimbangan. Itu jadi kata kunci yang menarik. Saya merasa bahwa Hayun kurang mendapatkan porsi sosial yang seimbang di sini.

Sebagai anak muslim, dia minoritas di sekolahnya. Di kelasnya sendiri memang ada tiga anak dari Irak, namanya Elma, Zahara, dan Maryam. "But Maryam doesn't even know what Islam is, padahal ibunya pake jilbab..." Hahaha. Saya menukil obrolan itu bukan untuk membubuhkan stempel atau apalah, cuma sekadar untuk menggambarkan betapa determinannya aspek lingkungan sosial.

Keseimbangan. Dari kata kunci itu, lantas bagaimana dengan nasib keseimbangan anak kami sendiri?

Jika Tuhan mengizinkan, tahun depan kami sekeluarga akan mudik ke Bantul untuk seterusnya. Segala dinamika hidup yang selama 4-5 tahun terakhir kami jalani di Perth akan segera kami tinggalkan. Kami akan kembali kepada rutinitas lama, juga menjalani beberapa hal lain yang mungkin baru.

Salah satu hal baru tersebut adalah sekolah Hayun. Sejak tahun lalu kami telah mempersiapkan sekolah untuk anak kami saat sudah di Bantul nanti. Persiapan tersebut ternyata harus melalui serangkai perdebatan kecil. Emak saya menyarankan agar Hayun disekolahkan di sekolah Islam. Begitu pula adik saya yang ustazah TPA itu, jelas dia mendukung saran Emak. Sementara, saya sendiri ragu dengan saran mereka.

Setelah mikir-mikir lumayan lama, akhirnya saya dan istri memutuskan bahwa lebih pas Hayun belajar di sekolah umum saja. Adapun untuk pendidikan agama akan kami carikan kelas khusus di luar sekolah. Pertimbangannya lagi-lagi terkait kata kunci di atas tadi: keseimbangan.

Jadi begini. Di kampung kami cuma ada dua keluarga non-muslim, itu pun tak ada anak yang sebaya Hayun di antara mereka. Artinya, 100 persen teman Hayun di kampung adalah muslim. Begitu pun di keluarga. Keluarga besar saya 100 persen muslim. Keluarga besar istri saya juga 100 persen muslim.

Coba, bayangkan saja andai Hayun bersekolah di sekolah Islam pula, sehingga dia lagi-lagi menemukan teman-teman yang 100 persen muslim. Lantas dari mana dia akan paham bahwa di dunia ini dia tidak sendiri, bahwa ada banyak orang yang tidak sama dengan dia, bahwa ada sekian juta orang yang tidak percaya dengan apa yang ia percaya?

(Gejala semacam itu sebenarnya sudah mewabah. Keluarga-keluarga muslim, cuma mau tinggal di kompleks perumahan muslim, dan anak-anak mereka semuanya disekolahkan di sekolah muslim.)

Saya jadi ingat satu memori kecil waktu masuk SMP 5 Yogyakarta, belasan, eh, puluhan tahun silam. Di SMP itulah pertama kalinya saya terpapar pada perbedaan keyakinan. Waktu SD memang ada empat teman non-muslim, namun kok ya tiga di antaranya malah masuk Islam. Maka, begitu masuk SMP, saya merasa gagap budaya.

Saya masih merekam, bagaimana beberapa teman non-muslim langsung saya cecar dengan pertanyaan-pertanyaan ofensif yang menyebalkan, sejak hari-hari awal saya masuk sekolah hahaha. Bekal saya waktu itu cuma pengetahuan yang sangat minim tentang keyakinan lain, sekaligus persentuhan yang nyaris nol persen dengan anak-anak yang berbeda dengan saya. Saya begitu tengil dan lugu.

Nah, untunglah situasi gagap budaya tersebut terjadi pada fase SMP. Bagaimana kalau waktu SMA? Bagaimana andai saya reseh ke teman-teman saya saat kuliah? Sangat mungkin yang terjadi bukan lagi sekadar suasana yang bikin risih, melainkan konflik. Sakit hati. Amarah. Perkelahian.

Padahal situasi sekarang jelas jauh lebih rumit ketimbang waktu saya SMP. Dunia semakin kompleks. Akses informasi, yang baik maupun yang buruk, yang asli maupun yang hoax, semakin mudah didapatkan. Tantangan kehidupan di zaman ini, apalagi di zaman anak-anak kita nanti, sudah pasti tak akan lagi sama dengan zaman kita.

Dalam kompleksitas dunia yang semakin menantang, saya kira bekal yang dibutuhkan seorang manusia untuk menghadapinya bukanlah melulu kemampuan untuk berkompetisi, atau untuk jadi juara seorang diri. Namun juga kelihaian serta kelenturan dalam beradaptasi, untuk saling memahami, untuk berempati, untuk bekerja sama membangun harmoni.

Kemampuan semacam itu rasanya akan sulit terbentuk pada anak, manakala mereka hanya kita kungkung melulu pada satu jenis lingkungan saja selama bertahun-tahun masa pertumbuhan karakter mereka.

Saya tidak tahu apakah teori saya ini akurat ataukah tidak. Toh namanya juga cuma "ijtihad" kecil-kecilan, berlandaskan sejengkal pengalaman dan pengamatan. Tapi apa pun itu, saya yakin bahwa keseimbangan memang kata kunci yang akan melahirkan efek kesehatan. Sehat sosial, sehat psikologis, sehat spiritual.

Makanya, jangan juga salah paham dengan mengira bahwa saya bersikap anti-sekolah Islam. Nggak segitunya, tenang saja. Andai di kampung kami sudah ada anak-anak yang bisa memberi warna lingkungan yang lain untuk anak saya, tentu sekolah berbasis agama pun tak mengapa. Sayangnya, karena lingkungan semacam itu ternyata tidak kami dapatkan, maka sebisa-bisanya kami upayakan mengajak anak kami untuk mengenal rupa-rupa realitas yang berbeda dengannya.

Sekali lagi, cuma demi misi sederhana, yang akan saya sebarkan kepada siapa saja: agar anak-anak kita sadar bahwa di dunia ini mereka tidak hidup sendirian saja.

Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, dan suka menulis di mana saja. Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi

Related Posts :